Soleman Itlay (Foto: Dok Prib/KM) |
Oleh:Soleman Itlay
Patut kita berikan apresiasi kepada presiden Republik Indonesia (RI)Joko Widodo yang dikenal sebagai presiden yang paling sering berkunjung ke Provinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat Pada masa 2 tahun kepemimpinan, sedikitnya 4 kali berkunjung ke Papua. Hal ini merupakan suatu sejarah baru bagi Papua dalam kunjungan orang nomor satu di Indonesia sejak Papua dianeksasikan ke rumah pancasila semenjak 1969 silam. Padahal pemimpin–pemimpin negara sebelumnya, hanya dapat melakukan kunjungan kerjanya paling banyak dan sedikit dua kali. Sehingga, patutlah pertama kali Jokowi datang disambut dengan gembira tapi juga dalam tiga kali kunjungan disambut penuh dengan kekecewaan.
Siapa bilang tidak bangga, kalau seorang presiden berkunjung ke suatu daerah, tentulah, semua orang akan senang. Kehadiran pemimpin negara akan membawah warna tersendiri bagi suatu daeah yang dapat berkunjung itu. Memang tidak banyak orang yang tahu terkait kunjungan kepresidenan dalam sejarah bangsa Indonesia yang paling sering berkunjung ke satu daerah ataupun provinsi. Tetapi ada dua orang sosok pemimpin negara yang tercatat di Indonesia adalah Susilo Bambang Yudhoyono, presiden ke lima dan enam, dan satunya lagi adalah Joko Widodo, presiden ke tujuh sekarang. Keduanya, berkunjung pada daerah dan pulau yang berbeda dengan ketertarikan tertentu yang belum diketahui oleh publik.
Bagi Sumatera Barat, hal itu sangat terasa dalam kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin Indonesia kurang lebih 10 tahun yang lalu. Tercatat enam kali berkunjung dalam dua periode kalah itu. Kunjungan presiden tersebut membuahkan kadoh istimewa. Beliau menganugrahkan gelar Doctor Honoris Causa oleh pihak Universitas Andalas tepat pada kunjungan kerja yang kelima, persisnya 18 Desember 2006. Ada sesuatu yang unik membuat presiden kelima dan keenam ini terus berkunjung di pulau yang paling barat itu. Apa saja membuat mantan jenderal bintang empat itu tertarik dengan kota Minangkabau?. Tentu ada.
Sebenarnya ada beberapa hal yang membuat ketua umum partai Demokrat itu tertarik berkunjung ke daerah itu. Rindu dan takjub akan keindahan alam dan panorama Minangkabau, betah karena kenyamanan dan keamanan terjamin, senang dengan keramhtamahan masyarakat, sumber daya manusia yang cepat beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan tanpa meninggalkan akar budaya disana. Dibawah kuasa semua itu, masalah yang sering timbul ditengah keindahan, mengerahkan hati presiden bolak balik ke Minang, Sumatera Barat. Bahkan dalam kunjungan kelima, beliau relah melewati jalan darat berjam – jam dari bandara ke tempat tujuan, hanya untuk menikmati keindahan alam disamping kunjungan kepresidenan.
Hal serupa juga dilakukan oleh sang presiden Jokowi terhadap di Papua. Tidak mau kalah dengan pemimpin sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Orang nomor satu Indonesia yang ke tujuh ini tanda diketahui ingin menyamakan rekor dengan Susilo Bambang Yudhoyono, asalkan beliau harus dua kali berkunjung lagi ke Papua. Bahkan bisa mengalahkan rekor Susilo Bambang Yudhoyono yang enam kali berkunjung ke Minang, pulau paling barat, Indonesia. Tentunya, kesempatan Jokowi ada pada sisah masa jabatan, tiga tahun kedepan guna menyamai rekor mantan presiden.
Sehingga, besar kemungkinan, suami Iriana ini dapat memecahkan rekor dalam sejarah bangsa Indonesia, presiden yang paling sering berkunjung ke Papua. Entalah apa motivasinya aktif berkunjung ke Papua, apakah benar - benar hendak sukseskan rangkuman program “Nawa Cita” ataukah ada nilai stetika lain yang menarik perhatiannya untuk bolak balik. Sampai detik ini orang Papua sendiri belum tahu persis apa yang mengerakan hati Jokowi sampai tidak mau absen untuk hadir ke Papua. Tidak mungkin tidak, palingan ada tapi hanya Jokowi dan kaki tanganyalah yang tahu. Apakah dia, presiden mau selesaikan persoalan atau hanya jalan – jalan saja ke Papua.
Jelas, tanpa “ada sesuatu” tidak mungkin Jokowi rajin datang atau dengan kata lain “ada” di Papua. Bayangkan, orang bolak balik dengan jarak 1 km saja pasti pikir capek berakali lipat. Sob, jarak Jakarta - Papua (Jayapura) itu bukan dekat, tetapi bisa dikatakan lebih dari kata jauh dengan jarak 5.3 45 km. Ada dua kemungkinan besar, pertama kunjungan presiden ke Papua untuk menyelesaikan beragam persoalan seperti mengatasi rantai kemiskinan, pengangguran, kesakitan, kematian dan lain sebagainya. Kedua, kedatangan presiden sama sekali tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi orang Papua, terkesan memberikan janji-janji manis belaka.
Semua pihak tahu persis tentang perjalanan Jakarta – Papua itu bagaimana, menguras biaya yang begitu besar, tentunya. Jauh atau dekat, jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit dari setiap maskapai yang hendak pergi ke Jakarta ataupun sebaliknya. Satu kali perjalanan saja bisa memakan biaya sampai belasan juta rupiah. Makanya, kalau orang mau datang atau pergi dua pulau dengan jarak yang cukup berjauhan ini, pikir berlipat ganda. Bahkan berpikir adalah menjadi awal dan akhir, yang tidak akan bisa memwujudkan impiannya.
Kunjungan presiden seperti ini memang biasa bahkan berlaku di setiap negara. Hanya saja kunjungan presiden ke Papua berkali – kali ini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pemimpin lain. Sungguh, hal ini memang membuat publik bertanya – tanya. Kenapa presiden Jokowi suka datang ke Papua ketimbang di daerah lain di Indonesia? Apakah Jokowi datang ke Papua untuk menyelesaikan beragam persoalan ataukah hanya mencari pencintraan atas penderitaan orang Papua diatas kekayaan alam?
Tetapi seorang Jokowi tidak mau mengambil pusing tentang jauh dan dekat maupun untung dan ruginya keuangan daerah ataupun kas negara yang sampai saat ini masih berhutang sebesar 2.600 triliun. Tetapi berusaha supaya menyelesaikan berbagai persoalan di tanah air secara bersamaan dalam kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dari kunjungan presiden ke 33 provinsi di Indonesia, sejak terpilihnya sampai saat ini. Keseriusan besar terhadap bangsa dan negara ini dapat dilihat dari kepedulian presiden atas berbagai masalah yang langsung terjung ke tempat kejadian di beberapa daerah yang mengalami bencana alam.
Beberapa wilayah diluar 2 provinsi, yakni Papua dan Papua Barat, sejumlah masyarakat menyambut presiden Jokowi dengan gembira dan bahagia. Karena ditengah bencana dan masalah yang dialami masyarakat, presiden tidak hanya memberikan janji tapi juga bukti dengan mengatasi serta menyelesaikan begitu serius. Hal ini dapat tercatat dari beberapa kunjungan presiden Jokowi ke daerah – daerah seperti Kalimantan, NTT, dan lain-lain. Memang disini presiden ketujuh ini memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, bahwa sangat serius kerja nyata pada dua tahun belakangan ini.
Berbeda dengan kehadiran presiden di Papua empat kali. ini menimbulkan tanggapan bermacam – macam dari berbagai pihak yang selama ini mengharapkan ataupun tidak menantikan akan kunjungan presiden ke Papua. Tanggapan yang bersifat pro dan kontra itu terjadi sebelum datang dan pasca orang nomor satu itu meninggal pulau Papua ini. Cerminan tanggapan ini dapat terjadi pada setiap kalangan masyarakat, bahkan sampai saat ini pun masih menjadi topik diskusi hangat dari keluarga, kelompok LSM sampai di instansi atau lembaga pemerintahan di tanah Papua.Isu kontroversial terkait kehadiran presiden ini dapat dipahami dari dua kelompok yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula.
Pertama, ada kelompok masyarakat di Papua yang lebih percaya dengan kebijakan presiden Jokowi yang dianggap memberikan perubahan besar bagi Indonesia. Ada keterkaitan anggapan ini dengan rekam jejak presiden Jokowi dan juga sebagai mantan gubernur DKI Jakarta yang aktif dengan persoalan lapangan dan dekat dengan masyarakat pada tiga tahun yang lalu. Alasan tersebut dibesar - besarkan oleh kelompok orang tertentu kemudian mengatakan presiden Jokowi tentu akan lebih serius dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di atas tanah Papua, seperti kasus – kasus pelanggaran HAM, eksploitasi SDM, konflik horizontal, peredaran narkoba, minuman keras dan lain sebagainya. Kepercayaan ini dapat didukung dengan beberapa menteri yang aktif datang ke Papua.
Kehadiran para menteri seperti Luhut B. Panjaitan, mantan koordintar Menkopolhukam, sekarang menteri kemartiran dan menteri lainnya yang sering berkunjung ke Papua terus melahirkan suhu percaya pada presiden Jokowi yang memimpin Indonesia selama 2 tahun ini. Selain itu, peran media masa baik cetak maupun eloktronik juga sangat membantu untuk terus percaya pada presiden Jokowi. Peran media masa turut membantu dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja presiden yang terus memberikan penasaran bagi seluruh rakyat di Indonesia lain, bukan Papua dan Papua Barat.
Dilain sisi komitmen Jokowi yang melakukan terobosan di Indonesia wilayah lain pun ikut mempengaruhi sekelompok orang yang mengatasnamakan orang orang banyak di Papua sebagai bentuk menanamkan rasa percaya pada presiden Jokowi yang lebih besar. Contoh kasus, peristiwa Bali Nine yang menembak mati para penggedar narkoba asing di pulau Nusakembangan pada Rabu, 29 April 2015 lalu, ikut membangun optimisme orang Papua yang hampir sebagian besar adalah tidak menghendaki presiden Jokowi datang ke Papua. Kelompok ini terus mempropangandakan isu kedatangan presiden dengan pernyataan demikian, presiden Jokowi amat konsisten dengan setiap keputusan demi pemulihan nama baik negara yang semakin merosot di mata dunia.
Sehingga, dapat diharapkan juga agar presiden Jokowi bisa menyelesaikan persoalan dan membangun Papua yang lebih baik dalam sebutan “Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Presiden Jokowi dinilai akan mampu menangani berbagai konflik yang terjadi di Papua yang selalu saja menghilangkan nyawa orang secara Cuma – Cuma, mengeksploitasi SDA sewenang – wenang, mengambil alih fingsi lahan sesuka hati dan lain sebagainya. Biarpun banyak yang dianggap negara sebagai aktor dibalik semua hal ini, namun dari sisi lain negara Indonesia yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi mampu menyelesaikan secara bertahap, tersusun, sistematis dan berkelanjutan pula.
Upaya ini termasuk berhasil dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat Papua yang tinggal dalam aliran darah akibat timah panas agar tidak perlu menolak kedatangan presiden Jokowi ke Papua. Karena isteri Iriani yang cukup lama tinggal di Papua ini dinilai mampu menyelesaikan persolan Papua secara baik dan serius. Kunjungan presiden tentunya memberikan manfaat dan hasil yang memuaskan bagi masa depan orang Papua yang lebih baik. Meski tidak bisa berubah sekedar itu, tapi paling tidak ada perubahan selama dua tahun dalam kepemimpinan presiden Jokowi di Papua. Memang sebelumnya banyak yang menolak tapi juga tidak kalah jumlahnya dengan berbagai pihak yang mendukung presiden berkunjung ke Papua. Pada akhirnya, presiden berhasil berkunjung ke Papua sekitar empat kali.
Baru – baru ini juru bicara presiden, Johan Budi Sp mengatakan, kunjungan Jokowi ke Papua memiliki kemajuan yang sifnifikan bagi masyarakat daerah tersebut. “Seperti misalnya pembangunan infrastruktur, transportasi yang kemudian mampu menekan harga kebutuhan pokok di Papua sangat signifikan”, kata Johan saat dihubungi sindonews, Selasa, (18/10/2016). Lebih lanjut Johan mengataka, “Kehadiran Presiden ini juga sebagi bentuk kepedulian presiden Jokowi kepada rakyat Papua”, ujarnya.
Kemudian banyaknya kepercayaan ini, presiden Jokowi dapat berkunjung ke Papua kurang lebih empat kali. Kunjungan kerja ini dapat membuahkan beberapa kebijakan seperti menekan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Papua yang dikenal dengan kata sangat mahal. Ini terus membangun kepercayaan sekalipun pernyataan presiden Jokowi tersebut tidak didukung dengan suatu keputusan yang mengikat. Bahkan dengan modal kepercayaan yang semakin bertumbuh banyak di mata masyarakat di Papua ini juga dapat menarik perhatian presiden untuk kembali datang ke Papua.
Nah, hal – hal seperti diatas menjadi bahan pertimbangan bagi kelompok yang pro dengan kehadiran Jokowi ke Papua yang lebih banyak berasal dari aparat kemananan, militer, birokrat, politisi dan masyarakat Papua yang segelintir. Dengan modal tersebut mereka juga memiliki optimisme bahwa presiden akan memutus mata rantai persoalan yang panjang dan dalam yang sulit diselesaikan dengan berpikir dan berkata semata. Kemudian beragam janji presiden termasuk rencana pembangunan pasar Mamam- mama Papua, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menelan korban pada 8 Desember 2014 lalu, serta 19 orang luka – luka, dan lain – lain, akan selesaikan secara cepat.
Kedua, adalah kelompok masyarakat yang lebih banyak berasal dari keluarga korban penembakan, eksploitasi SDA, hak ulat, dan lain sebagainya. Dari empat kali kunjungan kerja presiden ke Papua, kelompok ini menilai kunjungan presiden tidak membuahkan hasil yang baik, malah setiap kali berkunjung hanya mengantungkan janji diatas janji presiden sendiri. Mereka menilai presiden terlalu bertele – tele dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Berikut beberapa janji presiden Jokowi yang dianggap kurang konsisten dan benar - benar menghina terhadap orang asli Papua dibalik janji manis dalam empat kali berkunjung ke Papua.
Janji pertama, 27 – 29 Desember 2014
Kunjungan perdana Jokowi tepat pada 27 Desember 2014 lalu, pada kunjuangan ini presiden merayakan natal nasional bersama rakyat Papua, di satadion Mandala, Jayapura. Mantan gubernur DKI Jakarta yang dikenal dengan gubernur yang suka tidur bangun bersama rakyat itu bermalam di Jayapura dalam penjagaan ketat oleh aparat kemamanan dan militer. Jokowi yang identik dengan teman rakyat kecil itu tak mendengarkan suara mereka lagi, cukup bertatapan dari atas panggung pada hari pertama di stadion Mandala, Jayapura. Harapan para akar kecil Papua yang meninggikan beliau dengan 2.026.735 (72,49%) suara pada pemelihan presiden, 9 Juni silam itu, tak sempat bertemu seperti sewaktu dia, presiden masih menjadai gubernur DKI Jakarta. Harapan orang Papua untuk berjabat tangan selama dua hari presiden di Jayapura, dikecewakan oleh aparat kemanan dan militer yang membatasi ruang bagi rakyat kecil.
Kehadiran presiden bagaikan angin segar pada Desember itu, kedatangan beliau memang bertepatan dengan orang Papua sedang berduka atas peristiwa paniai berdarah, 8 Desember 2014. Saat itu seluruh orang Papua optimis serta berharap kasus yang menelan 4 pelajar yang menjadi kado natal orang Papua itu dapat diungkap dengan kehadiran sang presiden saat itu. Dihadapan ribuan rakyat Papua, presiden berjanji negara akan segera menyelesaikan kasus paniai berdarah. Kesempatan itu juga presiden sampaikan kasus tersebut perlu diselesaikan agar dapat memberikan rasa adil dan kemanusiaan kepada keluarga korban seraya berharap kasus serupa tak boleh lagi terulang lagi di Papua.
Janji presiden terkesan terapung diatas air mata orang Papua yang sampai detik ini belum tuntas terhadap kasus tersebut. Kado natal orang Papua yang diberikan aparat kemanan dan militer itu tidak ada upaya penyelesaian berkelnjutan, sekalipun sudah membentuk tim Adhoc dari Komnas HAM RI. Janji Jokowi tersebut dinilai sebagai bentuk penghinaan besar bagi orang Papua, dimana dirinya secara terbuka mengangkat bicara di hadapan ribuan orang Papua untuk menyelesaikan kasus ini sebagai bentuk keseriusan negara terhadap pelanggaran HAM berat diatas tanah Papua. Kejadian yang mengenaskan itu kini takandas di rumah “Beda Pandangan” diantara komnas HAM dan jaksa agung republik Indonesia. Sehingga, kasus paniai berdarah yang menjadi kado natal buruk Desember bagi orang Papua itu, berbalik dengan istilah “kado janji natal prsiden” yang tak kunjung selesai.
Kunjungan perdana presiden, berakhir pada 29 di Raja Empat, Papua Barat. Beliau menghabiskan waktu selam tiga hari di Papua dan Papua Barat. Jokowi mengakhiri tahun 2014 di pulau yang kian gencar mempromosikan di dunia di balik penderitaan rakyat itu. Ia berkunjung di Raja Empat dengan melakukan agenda kenegaraan disamping menikmati indah alam. Bahkan janji untuk menyelesaikan kasusu paniai berdarah pun dapat berakhir pula di alam panorama, Raja Empat. Mungkinkah keindahan alam itu akan menyelesaikan kasus dan memberikkan harapan baru bagi orang Papua, tentu tidak. Apakah presiden akan konsisiten dengan janji yang ia sampaikan pada orang Papua terkait kasus pania berdarah dan beragam kasus pelanggaran HAM lainnya? Kita tunggu, sisa masa jabatan tiga tahun kedepan.
Janji kedua, 8 – 11 Mei 2015
Kunjungan kali ini presiden memusatkan perhatian di bidang ekonomi seperti meninjauh proyek jaringangan serat optik, pembangunan saranan olahraga unntuk Pekan Olaraga Nasional 2020 dan pembangunan jemabtan Haltekamp di Jayapura Papua. Hal ini dilakukan agar semua aktivitas sarana Pekan Olaraga Nasional (PON 2020) dapat diselesaikan, minimal 2019 terakhir dan dapat dirampung semua. Sehingga, presiden langsung mengagendakan untuk peletakan batu di beberapa tempat terkait dengan pembangunan infrastruktur sarana PON 2020, yang mana Papua sendiri akan menjadi tuan rumah di tahun 2020.
Pada kunjungan ke dua ini juga presiden Jokowi memberikan grasi, dimana memberikan pengurangan tahanan remisi kepada lima tahanan politik Papua. Mereka adalah Linus Hiel Heluka dan Kimanus Wenda (keduanya divonis 19 tahun 10 bulan), Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen (keduanya divonis seumur hidup) dan yang terakhir Apotnalogolik Lokobal (vonis 20 tahun). Dalam kesempatan kalah itu, presiden sempat menyinggung 90 tahanan politik Papua yang kian tersebar di beberapa Lapas di Papua. Lebih lanjut Jokowi berakata, “Ini adalah langkah. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan politik di daerah lain juga. Ada 90 yang masih harus diproses” ujarnya, dikutip laporan wartawan BBC, Ging Ginanjar, 8/5/15.
Pada, 10 Mei 2015, presiden Jokowi resmi mengumumkan untuk jurnalis asing bebas liput berita di Papua. “Mulai hari ini, wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti wartawan asing datang dan liput di wilayah lain di Indonesia” kata Jokowi. Ini merupakan buah janji ke sekian kalinya setelah Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus – kasus lain di Papua seperti Pania Berdarah. Hal tersebut berujung pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur prosedur kunjungan wartwan asing ke Indonesia pada 11 Agustus 2015. Sayangnya, pernyataan Jokowi ini kemudian digagalkan lagi oleh lembaga Clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kemendagri, Keplisian, BIN, sampai Menkopolhukam.
Dalam kunjungan kedua ini, paling tidak dapat menambah dua buah janji yakni janji tentang rencana pembebsan 90 tahan politik Papua yang tersebar di seluuruh bumi Cenderawasih dan membuka akses bagi jurnalis asing di Papua. Kedua janji dalam kunjungan kedua tersebut merupakan perhatian negara kepada orang Papua. Itulah hadiah indah kunjungan sang presiden ketujuh ke Papua pada Mei 2015 lalu. Kemungkinan besar akan ada hadiah istimewa lagi, entalah dalam bentuk apa saja.
Bisa saja dalam bentuk menghilangkan nyawa secara paksa, berjanji akan “Itu” dan “Ini” yang sebenarnya orang Papua tidak mengerti dengan kinerja sekaligus kunjungan presiden Jokowi ke Papua yang tidak pernah memberikan nilai positif bagi orang Papua. Nantinya, orang Papua sebagai korban atas tindakan brutal dan janji manis negara akan menunggu keadilan sampai Jokowi datang, kalau tidak sampai Tuhan Yesus datang kembali ke bumi Indonesia.
Janji ketiga, 29 Desember 2015 – 1 Januari 2016
“Saya akan sering ke Papua, masalah yang ada di provinsi ini akan diselesaikan” kata Jokowi ketika hadir di Gelanggang Olaragah Waringin Jayapura, 27 Desember 2014. Untuk memenuhi janji diatas, kunjungan presiden kali ini ke Merauke, Papua. Pernyataan itu disampaikan di awak media sertai dapat diketahui oleh publik.
Pada, 29 Desember 2015 presiden Jokowi tiba di merauke menggunakan pesawat kepresidenan untuk melakukan kunjungan kerja demi menyukseskan rangkuman program “Nawa Cita”. Dalam kesempatan itu presiden Jokowi secara resmi membuka lahan 1,2 hektar di Merauke, sekalipun sudah tahu persoalan itu masih ada pro dan kontra di antara pemilik ulayat yang sampai saat ini masih terusbermasalah. Seusai membuka lahan bermasalah itu, hari besoknya suami iriana ini menghadiri acara pelepasan Kapsul Waktu “Impian Indonesia 2015 - 2085”, di lapangan Hanasap Sai, Kabupaten Merauke.
Selain itu, presiden juga meresmikan dua bandara udara yakni Bandar Udara Wamena dan Bandar Udara Kaimana pada, 30 Desember 2015. Dari Wamena persiden sempat berkunjung ke kabupaten Nduga dengan agenda meninjauh dan memberikan kepercayaan terkait proyek pembangunan jalan trans Timika – Nduga- Wamena. Selanjutnya, agenda kunjungan kerja ketiga tersebut berakhir di kabupaten Raja Empat, Papua Barat. Pada akhir tahun 2015, presiden Jokowi menutup tahun di tempat alam wisata yang amat indah di dunia. Tempat itu tidak lain adalah Raja Empat, tempat dimana akhir–akhir ini terus menerus mempromosikan di kanca dunia internasional dibalik kemiskinan dan penderitaan masyarakat adat setempat.
Kunjungan kali ini, presiden lebih fokus pada pekerjaan fisik yakni proyek pembangunan sistem transportasi dan pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat. Pada kunjungan tersebut presiden Jokowi katakana, “Saya kasih waktu dua tahun dan perkembangan akan terus dipantau termasuk pembangunan pengairan atau irigasi serta penggunaan air bawah tanah”. Hal ini dikatan saat presiden membuka lahan sawah 1,2 hektar di Merauke, Papua. Meski demikian, persoalan terkait tanah tersebut masih bermasalah sampai detik ini, tidak tahu kapan akan diselesaikan secara baik dan terbuka.
Tatapi presiden terkesan melihat persoalan ini anggap sepele, padahal lokasi besar itu negara beli secara illegal. Dimana sebagian besar pemilik tanah di wilayah “Ha Anim” ini masih keberatan bahkan tidak bersediah untuk jual untuk kepentingan sesaat pula.
Malah disamping persoalan krusial itu, presiden Jokowi banyak menyinggung dan terlebih berjanji kepada petani yang sebagian besar dari masyarakat pendatang itu. Ini presiden tidak hanya memberikan janji tapi lebih kepada menyakiti hati orang Papua terlebih khusus lagi para pemilik hak ulayat di lokasi tersebut. Tidak hanya itu, penyerahan proyek jalan trans Timika –Nduga – Wamena itu juga memberikan kekuasaan penuh kepada TNI-AD/ZIPUR-10. Hal – hal semacam ini benar – benar mengecewakan para pengusaha seperti Kamar Adat Pengusaha Papua yang tersebar di seluruh Papua yang sebenarnya memiliki dan menguasai disiplin ilmu yang cukup mantap untuk menerapkan dalam praktek pembangunan di bidang jalan dan jembatan dalam kontek otonomi khusus.
Sekalipun pembangunan dan program pemerintah tersebut merupakan dibawah kendali pemerintah pusat, tetapi setidaknya dapat mengahargai orang Papua dalam bentuk memberikan kesempatan untuk bekerja diatas tanahnya sendiri. Kalau cara bermain presiden Jokowi seperti ini, tidak hanya mempercepat proses pembangunan melainkan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran di Papua. Secara tidak langsung presiden Jokowi memiskinkan orang Papua atas nama pembangunan semata. Toh, TNI itu tidak ada kaitan dengan pembangunan fisik. Mereka (TNI) bertugas untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara, bukan untuk pegang proyek kiri kanan sesuka hati. Pikir kita ini masih berada dalam jaman presiden Soeharto, ataukah memang mau berlakukan pemerintahan otoriter yang tidak suka oleh seluruh orang Indonesia.
Dari kunjungan ini dapat disimpulkan bahwa Jokowi datang ke Papua hanya untuk kepentingan masyarakat non Papua dan aparat keamanan (TNI), bukan untuk orang asli Papua. Hal ini juga dapat didukung dengan pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan bahwa,”Untuk prajurit yang berada di perbatasan baik yang ada di Kalimantan, baik yang ada di timur Papua, sebagian diberikan intensif khusus. Karena medan mereka berat, jangan dibandingkan dengan yang ada di Jawa dengan di papua. Saya kira semua yang ada di perbatasan akan diperhatikan, termasuk guru, petani dan ekonominya. Ini adalah masalah kebanggaan”, seperti dikutip dari Honai Center, Novemmber 12, 2015.
Kunjungan kerja presiden yang berturut – turut tidak hanya membawah arti baru bagi pemerintah di daerah ini tapi juga membawah malapetaka bagi daerah terlebih khusus pada orang Papua. Kehadiran Jokowi ke Papua dianggap menyepelekan peran para pimpinan daerah, gubernur, bupati dan wali kota di Papua. Banyak pihak yang menganggap kehadiran Jokowi di Papua wajar karena mau merealisasikan janji – janji kampaye sebelum menjadi presdien. Tetapi setelah berkunjung empat kali bisa melihat dan merasakan bagaimana pemerintah menyingkapi dan bertindak isu – isu yang berkembang di tingkatan masyarakat Papua terkait beragam persoalan.
Janji keempat, 18 2015 – 1 Januari 2016
Kembali lagi, presiden Joko Widodo berkunjung ke tanah Papua. Pada, 18 Oktober minggu lalu datang ke Papua dengan kegiatan yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ada beberapa serangkaian kegiatan yang dilakukan, sedikitnya 6 infrastruktur listrik di Papua yang berhasil diresmikan oleh presiden. Eanam infrastruktur tersebut adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air Orya Genyem 2x10 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro Prafi 2x1,25 MW, Saluran Udara Tegangan Tinggi 70 kili Volt Genyem - Waena – Jayapura, Saluran Udara Tegangan Tinggi 70 kilo Volt Holtekamp, Jayapura sepanjang 43,4 kilo metersirkit, Gardu Induk Waena – Sentani 20 Mega Volt Ampere dan Gardu Induk Jayapura 20 Mega Volt Ampere.
Seperti biasa, dalam kunjungan kerja kali ini juga tak lupa presiden Jokowi memberikan JANJI kepada orang Papua, sebuah bentuk perhatian dan wujud nyata dalam kunjungan kerja keempat. JANJI itu tidak lain adalah penekanan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang keabsahannya kurang valid itu. Hal ini memberikan kehangatan yang luar biasa bagi orang Papua yang semakin hari membutuhkan angin penanganan kompleksitas persoalan di tanah Papua. JANJI presiden terus bertambah banyak tanpa ada penanganan dan penyelesaian yang serius.
Kehadiran Jokowi ke Papua tidak begitu berubah secara signifikan dalam hal penyelesaian beragam persoalan yang menyilimuti masyarakat Papua. Tidak ada kebijakan strategis yang digarap dan dijalankan presiden Jokowi dari rangkuman program “Nawa Cita”. Kehadiran presiden Jokowi ke Papua tidak mampu menekan komplesitas masalah di Papua dalam empat kali kunjungan dalam dua tahun masa kepemimpinan yang berjalan. Dua hal penting yang membuahkan dalam kunjungan presiden termasuk kuker yang keempat baru – baru ini.
Penekanan harga BBM di Papua ini terus mengundang perhatian publik kembali. Ada yang mengatakan hal itu dilakukan demi kemajuan Papua yang lebih baik kelak. Kita butuh waktu beliau presiden mengeluarkan satu kebijakn dalam bentuk surat keputusan resmi, hal itu dapat membantu pemerintah setempat untuk menetapkan harga yang telah ditentukan presiden. Dengan adanya surat keputusan itu akan menjamin pemerintah untuk menekan harga BBM di Papua yang selama ini dinilai mahal. Bahkan semua pihak tentu saja akan mengikuti bahkan menghargai kebijakan pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga BBM di Papua.
Ada pula yang mengatakan, bagaimana mungkin harga BBM itu bisa berubah begitu cepat, kabsahan hukum saja tidak mendasar bahkan sama sekali belum ada. Ini hanya pernyataan yang bersifat untuk mencari pencitraan semata. JANJI pertama dan kedua, kasus Paniai Berdarah, 8 Desember 2014, membangun pasar mama-mama Papua, dan membebaskan 90 tahan politik Papua serta membuka akses bagi jurnalis asing saja belum penuhi. Mungkin orang mimpi di siang bolong baru bisa terwujud. Tapi selagi JANJI pertama, kedua dan ketiga saja belum tuntas, jangan harap untuk negara serius untuk konsisten dengan JANJI manis presiden Jokowi. Hal ini dikatakan, karena presiden terlalu berbelit – belit dalam upaya penyelesaian masalah Papua dalam konteks pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan negara (TNI-Polri) terhadap rakyat kecil di Papua.
Terhitung dari kedatangan presiden ke Papua, 18 Oktober lalu sudah tercatat 10 hari. Pasca presiden meninggalkan Papua, tidak ada tindakan berikut untuk mendukung JANJI yang disampaikan di mata Allah, Alam dan Manusia Papua pada pertengahan bulan ini. Tidak ada pengaruh apapun terhadap harga BBM pasca pernyataan presiden Jokowi itu dikeluarkan di awak media. Harga BBM sekarang, sama seperti sebelumnya dengan kata lain tidak ada perubahan singnifikan. Memang di Intan Jaya itu, ada yang mengatakan perliter Rp 6.500,00; tetapi itupun belum pasti. Kemudian akhir – akhir ini banyak yang terus bertanya – tanya, kapan harga BBM di Papua akan menurun?
Dari empat kali kunjungan ini, dapat saya mengambil kesimpulan bahwa presiden datang ke Papua hanya untuk meresmikan, meletakan batu, di bidang infrastruktur secara umum dan memberikan janji kepada masyarakat Papua.
Pertama, presiden Jokowi tidak memberikan manfaat bagi orang Papua, dari empat kali kunjungan kerja di Papua lebih banyak meresmikan ataupun meletakan batu pertama sejumlah jalan, gedung, bandara, pelabuhan, listrik, dan lain sebagainya. Sejumlah kegiatan tersebut sama sekali tidak menyentuh hati orang Papua. Kunjungan presiden sama sekali tidak dirasakan oleh orang Papua. Apa yang Jokowi lakukan selama empat kali kunjungan, benar – benar di luar dari kemauan orang Papua. Tidak menjawab keluahan orang Papua, tapi ujung – ujungnya mengecewakan.
Kedua, presiden Jokowi ke tanah Papua lebih banyak memberikan janji ketimbang bukti tanpa komitmen yang jelas. Pertama, pada 27 Desember 2014, presiden berjanji akan jamin dalam menuntaskan kasus Pania Berdarah, di stadion Mandala Jayapura. Kedua, presiden Jokowi berjanji akan membebaskan 90 tahanan politik Papua di seluruh tanah Papua dan berjanji akan membuka akses bagi jurnalis asing. Ketiga, presiden Jokowi memberikan beberapa proyek pembangunan kepada aparat militer dan berjanji akan rampung secepat mungkin dalam kepemimpinan termasuk jalan rel kereta api di Papua. Keempat, presiden Jokowi berjanji dan berkomitmen akan menekan harga BBM di Papua yang semakin dikwatirkan, sampai saat ini belum ada perubahan sama sekali di seluruh Papua.
Presiden Jokowi harus merubah pendekatan lagi untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Karena empat kali kunjungan kerja presiden ke Papua dinilai gagal dalam upaya menjawab persoalan tersebut. Presiden dinilai tak mampu menjawab keluhan masyarakat Papua, yang mengharapkan agar menangani persoalan dari status Politik Papua yang selalu menghambat pembangunan di bidang lain. Sampai kapan pun pendekatan Jokowi terhadap masyarakat Papua dari sektor infrastruktur takkan pernah berhasil. Tetapi beberapa hal yang tak akan pernah orang Papua lupa adalah JANJI presiden Joko Widodo, yang tidak pernah direalisasikan. Orang Papua akan terus menanti pada sisa masa jabatan tiga tahun kedepan.
Ppresiden Jokowi, kalau benar – benar mau bangun Papua harus merubah pendekatan. Empat kali pulang pergi Jakarta – Papua tidak pernah memberikan perubahan yang begitu signifikan. Kalau begini sama saja main uang diatas utang negara yang membengkak Rp 1,2 triliun. Tidak hanya itu, tetapi belum adanya keseriusan presiden terhadap masalah politik yang juga akar persoalan yang diharapkan masyarakat selama ini, dipandang sebela mata. Malah lebih fokus ke infarstruktur dan janji – janji belaka, masayrakakt menilai presiden tidak serius membangun Papua. Presiden lebih mementingkan pembangunan infrastruktur ketimbang mendengarkan suara rakyat Papua. Itu sama halnya dengan istilah “Minta Lain, Kasih Lain”, ujung – ujungnya tidak puas.
Jokowi diharapkan bisa mendengar suara kaum rakyat Paling timur, Indonesia ini. Kalau tidak menangani apa yang diharapkan masyarakat, jangan bermimpi untuk membangun di bidang lain. Kalau memang presiden tidak mau dengar dan tidak realisasikan janji – janji, alangkah baiknya tidak boleh lagi datang ke Papua berikutnya. Hal tersebut hanya merugikan semua pihak terlebih khusus rakyat Papua. Sudah cukup orang Papua menderita karena janji Soekarno, Soehato, Megawati, termasuk presiden Joko Widodo. Orang Papua ingin pemimpin seperti Gus Dur, yang datang sekali tetapi memberikan perubahan monumental bagi orang Papua. Presiden Gus Dur dianggap berhasil karena memberikan jawaban tepat orang Papua, yakni perubahan nama dari Irian Barat ke Papua.
Sehingga pembangunan di bidang manapun berjalan aman dan lancar tanpa hambatan apapun juga. Kalau toh, presiden Joko Widodo ingin membangun kepercayaan terhadap rakyat Papua harus menerjemakan pendekatan seperti Gus Dur. Kenapa Gus Dur dianggap berhasil membangun Papua, karena beliau mampu memberikan sebuah jawaban menjadi tuntutan orang Papua, bukan janji – janji semata. Memang kalau presiden ragu untuk membangun pendekatan dari politik setidaknya janji presiden seperti pembangunan pasar mama – mama Papua, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselasaikan secara cepat. Hal ini merupakan buah harapan besar dan juga menjadi tuntutan orang Papua saat ini.
Peluang presiden Jokowi ada pada tiga tahun yang sisah ini. Pertanyaannya, apakah presiden mampu merealisasikan janjinya atau tidak. Karena mama - mama Papua dan keluarga korban pelanggaran HAM dari tahun 1962 – sekarang masih menantikan keseriusan dan kepastian negara untuk dapat membuktikan. Sehingga, presiden diharapkan menyelesaikan persoalan Papua itu dengan cara mengutamakan apa yang menjadi “Tuntutan” orang Papua, lalu selanjutnya melaksanakan apa yang kehendak presiden Joko Widodo untuk membangun Papua.
Penulis adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI St. Efrem, Jayapura Papua.
0 komentar:
Posting Komentar