ILUSTRASI - Mama-mama Papua menjajakan jualannya . (Foto : Ist) |
Oleh, Sanimala B.
Kehidupan dua bangsa, Indonesia dan bangsa Papua hasil aneksasi (integrasi) melalui proses sejarah kontraversial yang hingga kini diperdebatkan keabsahan dan jadi pemantik konflik politik sejak 1 Mei 1963 hingga mayoritas rakyat Papua dipaksa bergabung dengan RI melalui Pepera 1969, diwarnai benturan-benturan sistem ekonomi, sosial, budaya dan ideologi (politik). Aneksasi juga menandai dimulainya babak pembunuhan sistem ekonomi lokal dan proses pemaksaan sistem/ideologi, meminjam istilah Louis Althusser (1918-1990), ‘aparatus ideologis negara’ yang dalam prakteknya di Tanah Papua terlihat lebih ‘aparatus represif negara’, dimana perangkat penyebarluasan ideologi dan sistem ekonomi-politik yang dipaksakan dan tak jarang berpendekatan represif.
Awalnya, hidup rakyat Papua adalah komunal. Mengenal difersifikasi kerja, kepengurusan pemerintahan masyarakat adat, dengan teritori kekuasaan yang jelas, dengan nilai dan normanya sendiri, yang harmonis dengan komunitas masyarakat adat lainnya di atas tanah Papua dengan sistem mereka yang berbeda. Salah satu yang sama dari sistem-sistem yang mengikat hidup masyarakat adat adalah penghargaan atas alam, persaudaraan dan kebersamaan dalam hidup, dan penghormatan pada Dia yang menjaga, melindungi, dan memelihara tanah, alam dan hidup mereka. Semua hancur sejak aneksasi dan sistem ekonomi neoliberal dan politik kolonialistik Indonesia datang.
Penegasan sistem ekonomi neoliberal di Tanah Papua adalah dampak dari proses panjang perjuangan kaum kapitalis dunia mengambil kendali ekonomi negara Indonesia merdeka hingga tercapai melalui skenario Gerakan 30 September 1965, dimana penanaman modal menjadi gambaran nyata implementasi sistem ekonomi neoliberal sebagai perwujudan sistem libertarianisme dan liberalisme klasik dalam praktik kebijakan liberal Indonesia usai menguburkan implementasi pemerintahan “berdikari” ala Soekarno bersama rezim orde lama.
Sistem ekonomi neoliberal yang kapitalistik ini walau tak kasat mata, tersirat dari sepak terjangnya. Dari Tanah Papua, kita melihat upaya supremasi modal dan pasar dimana negara memegang mayoritas kendali dan diabaikannya rakyat asli Papua pemilik tanah, air dan udara bahkan dengan represif melibatkan aparat keamanan negara (TNI/Polri dan jajarannya). Sejarah kelamnya ekonomi Papua menelanjangi, bagaimana negara tak berdaya terhadap fenomena fleksibilitas modal, dimana penanaman modal lintas negara makin terbuka, akibat ditetapkannya undang-undang Penanaman Modal Asing kala itu. Washinton-Jakarta jadi poros ekonomi berbalut berbagai kepentingan, termasuk kepentingan penguasaan teritori West Papua.
Dalam perjalanannya, rakyat asli Papua tidak dididik untuk turut berpartisipasi dalam membangun sendiri kehidupan ekonominya dengan apa yang ada padanya, memanfaatkan semua yang ada padanya. Rakyat Papua tidak dirangsang untuk turut berpartisipasi dalam percaturan perekonomian Papua, misalnya melalui koperasi-koperasi dan komunitas usaha berbasis wilayah, geografis, bahkan tidak untuk pendekatan budaya dengan mengangkat sistem ekonomi lokal yang (bila ditelisik, ternyata) selaras dengan sistem ekonomi kerakyatan seperti tersirat dan tersurat dalam UUD 1945. Nyatanya, Indonesia cenderung membiarkan sistem ekonomi lokal berkembang dalam lingkup komunitas internal orang Papua sementara sistem ekonomi neoliberal semakin mengakar dalam hidup di luar komunitas rakyat Papua, padahal nilai-nilai, sistem dan semangatnya sangat berbeda dengan sistem ekonomi lokal yang dimiliki suku-suku bangsa di Papua. Transmigrasi dan dominasi ekonomi dengan semua produk kapitalisme melengkapi dominasi kendali ekonomi yang memarginalkan dan membunuh kearifan sistem-sistem ekonomi lokal yang beraroma budaya yang masih kontekstual dalam membangun perekonomian lebih baik untuk kesejahteraan rakyat Papua.
Berkuasanya sistem ekonomi neoliberal di Tanah Papua juga dapat kita lihat dari bagaimana sistem kepemilikan tanah adat dan tanah kepemilikan klan, suku, dan wilayah secara komunal dalam tatanan silsilah keluarga dihapus paksa dengan pencaplokan tanah adat demi eksploitasi mineral, eksploitasi hutan, eksploitasi minyak, termasuk di dalamnya eksploitasi manusia Papua sebagai buruh kasar yang diperlakukan tak manusiawi. Anak adat Papua pemilik tanah-air-udara itu, ia dipandang seolah-olah mesin pekerja tanpa jiwa hingga pengabaian terhadap sisi sosial dan kemanusiaan seolah-olah itu biasa.
Indonesia mengabaikan pemetaan adat oleh Belanda di Papua dalam 7 wilayah adat dan data-data kebudayaan lainnya.
Bahkan kini di era otonomi khusus, setelah jutaan hektar tanah adat dikuasai ratusan perusahaan yang mencaplok dan mengklaim tanah adat kita sebagai tanah dalam kekuasaannya dan mengeksploitasi, kita diperhadapkan lagi dengan pengabaian/penghapusan tanggung jawab pemerintah atas pengembangan ekonomi kerakyatan, pinjaman modal murah dan produk hukum protektif, subsidi pendidikan, kesehatan dan kemudahan layanan sosial dan kontrol atas harga yang mestinya kita nikmati. Semua seakan-akan tidak menjadi tanggungjawab bukan negara, sementara negara semakin rakus dan rajin mengeksploitasi semua kekayaan alam kita bersama para pemodal dalam perlindungan sistem ekonomi-politik (demokrasi) neoliberal.
Sistem kapitalisme dalam sistem ekonomi neoliberal dan politik demokrasi neoliberal di tanah Papua kini telah memengaruhi mainstrem, cara pandang dan pola pikir, melalui instrumen-instrumen/saluran-saluran. Proses penyebaran (doktrin) ideologi dengan cara halus telah melibatkan instrumen pendidikan mulai dari penididkan dasar hingga perguruan tinggi, sehingga sistem pendidikan Papua tak lebih dari mesin produksi kelas pekerja untuk kebutuhan pasar dalam tatanan kehidupan ekonomi-politik neoliberal. Sementara dengan cara represif, pembungkaman ruang demokrasi, menutup Tanah Papua dari akses jurnalis asing, pembunuhan terhadap para pimpinan perlawanan kemerdekaan, hingga penyebaran teror dan ketakutan dalam kehidupan rakyat Papua akan bayangan kematian bila bersuara dan melawan adalah pembuktian diri sistem ekonomi politik (demokrasi) neoliberal yang kolonialistik, eksploitatif, yang sudah nyata tak peduli pada hidup orang Papuanya, yang abai pada kemanusiaan-keadilan dan HAM.
Di Papua saat ini, capaian sistem ekonomi-politik neoliberal yang kapitalistik telah mencapai tingkat setiap kita menganggap cara-cara liciknya demi proteksi atas usaha untuk capaiannya yang lebih tinggi lagi akan penguasaan atas tanah, air dan udara Papua dalam produk regulasi dan kebijakan ekonomi yang menyelubung dalam setiap instrumen hukum-politiknya kita anggap normal, sesuai dengan hukum, wajar, sudah seharusnya begitu. Sikap kita untuk menolak dan melawanlah yang kini justru terlihat aneh dan seakan-akan tak wajar.
Kita tak boleh terpenjara oleh pikiran seperti ini! Mari keluar dari sistem ekonomi-politik neoliberal yang kapitalistik, ekploitatif, kapitalistik dalam tatanan sistem ekonomi yang diterapkan Indonesia yang berlaku juga atas kita. Kita mesti menolak sistem ekonomi politik neoliberal karena ia tidak memberi masa depan yang cetah bagi bangsa Papua. Tidak ada satu bangsa pun yang akan bertahan dalam sistem ekonomi yang sifat dan karakternya eksploitatif dan menguras, memiskinkan rakyat, memberi masa depan kematian. Ada sistem lain di luar sistem ini yang lebih baik, yang dapat kita kolaborasikan dan kontekskan dengan sistem-sistem kehidupan kita dalam tata budaya dan kehidupan Melanesia.
Bila Indonesia tidak memberi ruang bagi tata kelola sistem ekonomi yang cukup buat bangsa Papua menjadi diri sendiri dalam mengatur segala sumber-sumber penghidupannya karena telah takluk kedaulatan ekonominya pada hegemoni kapitalisme global, maka jalan kebenaran bangsa Papua demi kehidupannya hari ini dan masa depan anak cucunya yang lebih baik hanya ada dalam satu jalan: penentuan nasib sendiri dan memilih merdeka politik bagi bangsa Papua Barat. Kemerdekaan politik Bangsa Papua sajalah yang di dalamnya memberi kebebasan agar orang Papua dapat menentukan sistem ekonomi yang dapat melepaskan bangsanya dari ketergantungan mekanisme pasar global. Sistem ekonomi yang bebas dari intervensi neo-liberalisme yang merupakan wajah baru kolonialisme. Penentuan nasib sendiri adalah soal bagaimana anak-anak Papua mengambil tanggungjawab untuk menata sistem perekonomian yang sesuai dengan corak produksi rakyat Papua sendiri.
Penulis adalah mahasiswa Papua. Kuliah di Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar