Foto: pixabay.com |
"Kita putus," kata John yakin dan tegas.
"Kenapa?" tanya Dessy setengah kaget.
"Saya mau jadi pastor," John mengutarakan cita-citanya dengan jujur kepada Dessy beberapa bulan menjelang Ujian Nasional diselenggarakan di SMA YPPK Adi Luhur, salah satu SMA milik yayasan Katholik di kota Nabire.
Mata Dessy berkaca-kaca, lalu mencucurkan tetesan-tetesan air bening dari kedua bola matanya yang hitam. Gadis itu menangis terseduh-seduh. Tujuh tahun proses pacaran yang dilaluinya bersama John dirasanya pupus di tengah jalinan cinta itu kian bersemi. Putusnya jalinan cinta membuat Dessy tak Berdaya. Serasa dunia ini telah kiamat baginya. Tiada harapan lagi.
Di kamar asrama, Dessy duduk murung. Cucuran air matanya terus saja membasahi kedua pipinya. Ia tak beranjak dari tempat tidurnya. Kenangan-kenangan bersama John, sang mantan pacarnya itu tertayang kembali bagai drama di layar bioskop. 'Ah! Kenapa John begitu tega mengatakan kata putus?' isak Dessy. Hanya dia harapan satu-satunya bagiku. Ah tidak mungkin! Saya masih mencintainya dan akan terus mencintainya kalaupun nanti dia menjadi pastor.
Ia menyadari bahwa jika John menjadi seorang pastor nanti, tidak mungkin pria idamannya itu bakal menjadi pasangan hidupnya. Ia tahu bahwa dalam tradisi agama Katholik, seorang pastor tak mungkin menikah sebab mereka memilih hidup seorang diri ketika mengucapkan kaul. Menyadari tradisi ini, Dessy benar-benar merasa sedih. Hatinya seakan hancur berkeping-keping dan tetesan air matanya menemani dirinya dalam kesepian sore itu.
Dessy terbaring lemas di atas tempat tidurnya. Tak ingin lagi ia bangkit dari tempat tidurnya, apalagi keluar untuk makan malam bersama teman-teman asramanya. Sudah 5 menit lalu, sempat teman-temannya mengajaknya untuk makan, tetapi ia menolaknya karena tiada niat untuk makan.
Ia telah tenggelam begitu jauh di balik rasa kesidihan dan kekecewaannya. Walau kecewa, ia masih merindukan John, pria telah mencuri hatinya semenjak 7 tahun yang lalu (saat mereka duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar).
Hampir selama sebulan penuh, Dessy tak pernah menunjukkan wajahnya di sekolah. Menurut cerita teman-temannya, selama itu Dessy mengurung dirinya di kamarnya dan selama itu pula ia jatuh sakit. John sempat mendengar kabar itu, tetapi ia tetap berkomitmen pada cita-citanya untuk menjadi seorang pastor.
John adalah sesosok pria yang berpegang teguh pada kepututsan yang telah diambilnya. Jadi, tidaklah mudah baginya untuk merubah keputusannya itu. Sudah terlanjur ia mengambil keputusan untuk memutuskan jalinan cintanya itu. Saat itu, yang ada dalam benaknya adalah ia ingin menjadi pastor.
Keinginannya itu sudah bulat, tak seorang pun yang boleh mengganggu gugatnya jika kedua orang tuanya merestuinya untuk melanjutkan pendidikannya di Seminari Tinggi. Tetapi bagi Dessy, keputusannya itu hanya meninggalkan luka yang amat dalam.
Beberapa hari setelah mengikuti ujian nasional, John mengutarakan keinginannya itu kepada kedua orangtuanya. Tapi sayang, ayahnya tak merestui John kuliah di seminari tinggi, apalagi menjadi seorang pastor. Barangkali ayahnya tak ingin anaknya John tak menurunkan keturunan, sebab menurut pandangan orang tua keturunan itu amatlah penting – dan itu ada benarnya.
Tetapi menjadi seorang pastor juga penting dan ada benarnya juga sebab itu adalah pilihan hidup setelah agama Katholik disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Sejak ayahnya tak merestui keinginannya, John patah semangat sebab ia telah membulatkan tekadnya itu jauh sebelumnya. 'Lebih baik saya menjadi anak terminal Pasar Karang'. Inilah keputusan baru yang diambilnya setelah komitmen menjadi seorang pastor ditolak ayahnya.
Semenjak itu ia tak ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi lain. Sebagai seorang anak, John merasa pilihan atau panggilan hidupnya dihalangi orang tuanya. Keputusan menjadi anak terminal merupakan ungkapan kekecewaan atas penolakan panggilan hidupnya itu.
* * *
Dessy ingin John selalu berada di sampingnya walau hubungan pacaran mereka telah putus. Suatu hari, dari pagi hingga sore, Dessy meminta John untuk melanjutkan kuliah bersamanya ke Jayapura dengan ongkos tiket kapal dibayarkan Dessy, tetapi John menolaknya karena ia berhaluan komitmennya untuk menjadi seorang anak terminal Pasar Karang.
“Kita kuliah sama-sama ke Jayapura!” pinta Dessy. “Saya tanggung ongkos tiket ke sana,” lanjutnya.
“Saya tidak mau lanjut kuliah,” kata John.
“Kenapa?”
“Pokoknya tidak mau saja. Saya mau jadi anak terminal.”
“Oh begitu…” Dessy terdiam.
Pagi itu sang mentari bersinar terang. Tak ada segumpal awan pun yang membelakangi pelataran angkasa biru kota Nabire.
Sementara menunggu ijazah dibagikan, John mengikuti seorang pria tua untuk mengumpulkan batu di sepanjang kali Nabire. Ia ingin hidup mandiri, terlepas dari tanggungan kedua orang tuanya. Bersama pria tua itu, ia mengumpulkan batu di sepanjang kali hampir setiap hari selama 2 minggu. Ia mengumpulkan beberapa ret batu dan mendapatkan sejumlah uang dari hasil pengumpulannya itu.
Setelah menerima ijazah, Dessy telah berangkat ke Jayapura. Teman-teman John yang lainnya pun telah berangkat kesana untuk melanjutkan kuliah.
Kota Nabire terasa sunyi dan hampa tanpa teman-temannya. Ingin menjadi anak terminal Pasar Karang tak menjadi pilihan bagi John. Tanpa rencana, akhirnya ia pun berangkat ke Jayapura menumpangi kapal berikutnya. Ia pun tak punya rencana untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jayapura. Ia membayar ongkos tiket kapal dari uang hasil pengumpulan batu yang telah diperolehnya.
* * *
Dessy dengar bahkan lihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa John yang tak mau lanjut kuliah di Jayapura itu akhirnya berada juga di sana. Ia telah mengetahuinya bahwa John melanjutkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi (bukan di STFT - Sekolah Tinggi Fajar Timur) yang pernah diungkapkan mantan pacarnya itu.
Kenapa John membohongi saya? Kenapa pula ia menolak dibayarkan ongkos tiket walau nantinya dia juga ke sini? Apakah saya tidak pantas untuknya? Apakah ia benar-benar tak punya perasaan untuk saya? Tapi saya akan berupaya kembali untuk merebut hatinya.
Kehadiran John di Jayapura membuat Dessy tampak terharu campur kecewa. Terharu karena tak disangkanya John bisa ada di sana juga. Barangkali dengan menatap wajahnya, Dessy bisa melepas kerinduannya. Ia juga sempat merasa kecewa karena tawarannya untuk membayarkan ongkos tiket pernah ditolaknya.
Tetapi, akhirnya ia juga tersenyum menatap wajah sang mantan pacarnya itu. Ia ingin merajut kembali jalinan cinta yang telah terputus beberapa bulan lalu.
* * *
Setahun kemudian, John jadian dengan Merry. Dessy pun tahu bahwa John telah pacar dengan gadis lain tetapi Dessy masih mengirim pesan-pesan singkat kepada John. John sering membalas pesan-pesan itu, bukan berarti ia masih mencintai Dessy. Hal ini dilakukan hanya sebagai upaya menjaga perasaan mantan pacarnya itu.
Keinginan John untuk menjadi seorang pastor tidak terkabul karena telah ditolak ayahnya. Bukanlah sebuah pembohongan yang dilakukannya untuk memutuskan jalinan cintanya dengan Dessy. Bagi John, meski kini ia punya anak dan istri, ia adalah seorang pastor (pastor awam).
“Katanya mau jadi pastor…” kata Dessy kecewa.
Arnold tersenyum sesaat memahami maksud perkataan Dessy. Arnold tahu kalau yang dimaksud Dessy adalah John sahabatnya.
“Memang seperti itu, tapi orang tuanya tidak setuju,” kata Arnold sejujurnya.
“Sekarang dia kuliah di mana?”
“Di Stikom”
“Oh…mantap.” Dessy memandang ke arah orang-orang yang sedang asyik bermain bola volley. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa masih punya kesempatan untuk mendapat John kembali sebab John tidak melanjutkan kuliahnya di STFT.
Dessy masih mencintai John dengan segenap hatinya walau John kini punya anak dan istri. Untuk menunjukkan cintanya itu, ia rela menjadi istri kedua. Tetapi itu tak mungkin terjadi, sebab John telah memutuskan jalinan cinta dengannya. Apalagi kini Dessy juga punya suami dan anak. Awalnya ada cinta, lalu kecewa dan benci. Cinta memang tak harus saling memiliki. Akhirnya cinta, bukan cinta antar lawan jenis, tetapi cinta sebagai sesama manusia.
Penulis Vitalis Goo Novelis Muda Papua
0 komentar:
Posting Komentar